Berita/Artikel

Penanganan Anak Underachiever

Himawan Susanto, S.Psi

Guru BK SMAN 1 Margsari

 

Dalam praktik pembelajaran setiap guru menghendaki proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik. Pun hasil yang dicapai diharapkan maksimal. Semua peserta didik dapat mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM). Namun kenyataannya tidak selalu demikian. Adakalanya terdapat peserta didik yang mengalami kesulitan. Nilainya tidak tuntas. Seperti halnya di sekolah lain. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman Penulis sebagai Guru BK di SMA N 1 Margasari keadaan di atas juga terjadi pada peserta didik disini.

Sayangnya, kesulitan yang dialami peserta didik seringkali tidak mendapat perhatian dan penanganan tuntas. Justru sebaliknya Peserta Didik dituntut mampu menyelesaikan masalah kesulitan pembelajaran itu sendiri. Tanpa bantuan orang lain. Padahal permasalahan yang dihadapi bukanlah semata pada kesulitan pelajaran saja. Tetapi ada faktor psikologis yang menyelimutinya.

Lebih parahnya justru ketika Peserta didik tidak mampu menyelesaikan kesulitan pelajaran kemudian mendapat labelisasi “anak bodoh” oleh lingkungannya. Hal ini semakin membuat anak terpuruk dalam pelajaran dan terganggunya perkembangan pribadi Peserta Didik.  Padahal kalau kita perhatikan sesungguhnya peserta didik itu memiliki potensi yang baik / kecerdasan yang memadai untuk mengikuti suatu pelajaran. Namun prestasi pelajarannya justru di bawah kemampuannya. Peserta didik mengalami keadaan underachiever.

Underachiever

Makmun(2001) menjelaskan underachiever adalah anak yang prestasinya lebih rendah dari apa yang diperkirakan berdasar hasil tes kemampuan belajarnya. Misalnya, secara potensial (IQ) peserta didik seharusnya bisa mendapat nilai minimal 7. Kenyataannya ia hanya mendapat nilai dibawah 7.

Keadaan psikologis peserta didik yang kurang mendapatkan ruang penerimaan yang tepat acapkali menjadi penyebab terjadinya underachiever. Pengalaman traumatik terhadap suatu pelajaran, ketidakmampuan mengungkapkan emosi secara tepat manakala mengalami kesulitan, atau kegagalan dalam beradaptasi terhadap lingkungan dapat menjadi penyebabnya.

Beberapa ciri yang nampak pada Peserta didik underachiever antara lain nilai pelajaran yang rendah, malas mengikuti pelajaran, membolos, tidak menghiraukan nasihat,atau perintah, “ndableg”, dan menarik diri dari pergaulan.

Keadaan ini tidak boleh berlangsung terus menerus karena berdampak buruk pada perkembangan peserta didik. Bahkan bisa terjadi kegagalan pendidikan, drop out. Perlu penanganan secara tersistem yang melibatkan semua pihak.

Penanganan

Guru Bimbingan dan Konseling (BK) atau Konselor memiliki peran strategis dalam penanganan Peserta Didik underachiever.  Mengutip Mungin Eddy Wibowo (2019) Konselor adalah profesi bantuan (helping profession) yang memberikan bantuan keahlian dengan tingkat kebahagiaan pengguna berdasarkan norma – norma yang berlaku.

Demikian Guru BK/Konselor memberikan bantuan melalui pelayanan. Pelayanan untuk membantu pengembangan pribadi Peserta didik agar optimal. Guru BK/ Konselor menjadi pendamping tumbuh kembang peserta didik dengan beragam masalah yang mengikutinya. Diantaranya pelayanan pada penanganan Peserta Didik Underachiever.

Langkah penanganan Peserta didik Underachiever yang perlu dilakukan oleh Guru BK/Konselor meliputi :

Pertama, Konseling Individual. Konseling individual sebagai layanan responsif untuk mengetahui keadaaan pribadi Peserta didik. Ditemukannya akar masalah yang menyebabkan Peserta didik mengalami underachiever. Sebelum dilakukan konseling Individu Guru BK/ Konselor perlu mengumpulkan data tentang Peserta Didik.

Data Peserta Didik dapat diperoleh dari dokumen sekolah, informasi dari wali kelas, guru mapel ataupun teman sebayanya. Untuk selanjutnya dilakukan analisis data untuk menentukan mana data yang penting dan mana yang tidak penting. Selanjutnya dilakukan Konseling Individual. Melalui Konseling Individual Guru BK/Konselor membantu Peserta didik untuk mengatasi underachievernya. Guru BK/Konselor menstimulasi potensi Peserta didik untuk menggali alternatif penyelesaian masalahnya. Pada kondisi tertentu konseling yang dilakukan bisa dilakukan secara kelompok. Yakni melalui Layanan Konseling Kelompok. Manakala didapati kecenderungan masalah yang sama.

Kedua, Kolaborasi Guru BK dengan Orang Tua Peserta didik. Kolaborasi dengan orang tua diperlukan untuk menggali lebih jauh informasi tentang Peserta Didik terkait terkait kehidupannya di rumah. Selain itu, keterlibatan orang tua akan sangat membantu Peserta didik untuk mengatasi masalahnya. Langkah kolaborasi ini dapat dilakukan melalui pemanggilan orang tua atau kunjungan rumah (homevisit). Perlu dicatat, proses ini harus diketahui dan disetujui oleh Peserta didik yang bersangkutan.

Ketiga, Kolaborasi Guru BK/Konselor dengan Guru Wali Kelas dan Guru Mata Pelajaran. Kolaborasi ini diperlukan agar Peserta Didik dapat mendapatkan dukungan moral. Wali Kelas menjadi jembatan komunikasi antara Peserta didik dan Guru Mapel. Perlunya pandangan dan keyakinan positif bersama bahwa Peserta didik sesungguhnya memiliki potensi yang memadai untuk menyelesaikan pembelajaran. Peserta didik mampu berprestasi sesuai potensi dirinya.

Pada titik finalnya, dengan komitmen bersama semua pihak, Peserta didik dengan masalah underachiever dapat terentaskan secara tuntas. Potensi Peserta didik didik dapat tumbuh secara optimal dan berprestasi. Sejalan dengan tujuan nasional pendidikan yaitu pengembangan potensi Peserta Didik untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara dapat tercapai.

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *